Masalah sosial pun tak kalah parah. Jalanan kini padat oleh kendaraan besar: truk pengangkut batu, semen, dan besi. Lalu lintas macet, jalan rusak, dan kebisingan menjadi irama harian. Kecelakaan sering terjadi karena truk oleng atau rem blong. Banyak warga kehilangan nyawa di jalan yang seharusnya jadi akses kehidupan, bukan ancaman kematian. Di saat sebagian orang menikmati pendingin udara di mobil mewah, rakyat kecil menembus panas dan debu dengan motor cicilan.
Musim kemarau membakar kulit dan paru-paru, sementara musim hujan mengubah jalan menjadi kubangan besar. Warga hanya bisa mengelus dada, sebab suara mereka sering tak terdengar. Protes dianggap gangguan, keluhan dianggap hambatan. Akhirnya, mereka pasrah—menjadikan debu sebagai teman hidup, dan udara kotor sebagai kenyataan sehari-hari.
Seperti kata Iwan Fals,
“Mengapa besar selalu benar, dan kecil harus mengalah serta menyingkir?”
Kalimat itu terasa hidup di sini, di tengah pagar-pagar industri yang menutupi akses menuju laut. Bojonegara–Puloampel berada di tepi pantai, namun warga setempat tak bisa menikmati lautnya. Semua tertutup tembok dan kawat berduri milik perusahaan. Laut yang dulu menjadi sumber rezeki, kini hanya bisa dipandang dari kejauhan.

It’s heartbreaking to hear about the daily dust exposure in Bojonegara–Puloampel; it’s a serious health concern for residents. I was reading about similar environmental impact assessments on https://seed3d.ai and found some related data on particulate matter.