Potret Pilu di Lampu Merah Kota

Sama halnya dengan tukang parkir liar yang bekerja tanpa gaji, hanya menggenggam receh seribu-dua ribu sebagai balasan keringat. Mereka tak menuntut tunjangan, tak menuntut perhatian. Mereka hanya bertahan hidup.

Kita kemudian bertanya: apakah ini bentuk eksploitasi anak? Ataukah cermin nyata kesenjangan sosial yang menganga lebar? Saat janji sepuluh ribu lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan hanya menjadi slogan, rakyat kecil tetap menunduk, berjuang sendiri. Mereka hanya bisa mengelus dada, sebab protes pun tak terdengar. Mereka lapar, mereka sakit, mereka hidup—tetapi seolah tidak ada yang benar-benar memperhatikan.

Maka jangan salahkan jika Tuhan marah. Jeritan rakyat kecil yang terpinggirkan bukan sekadar cerita; itu doa yang melangit. Mereka menahan perih yang tak pernah masuk dalam rapat-rapat parlemen, tak masuk dalam laporan proyek triliunan.

Kota yang indah tiba-tiba terasa kusam ketika seorang ibu tampak mengajari anaknya mengharap belas kasihan. Mengamen, mengemis, atau sekadar memperlihatkan perut kosong—semua dilakukan demi hidup hari ini. Karena menunggu keajaiban dari langit tidak membuat perut kenyang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Follow by Email
Instagram
Telegram
WhatsApp
FbMessenger
URL has been copied successfully!