
merah untuk mengemis (dibuat hasil ia)
Di tengah panas dan debu yang membubung, seorang ibu menggendong balitanya yang belum genap dua tahun. Bocah itu tertawa kecil, bercanda, seolah belum mengenal kerasnya dunia yang sedang ia masuki. Sang ibu berdiri di antara deru kendaraan, menunggu detik-detik ketika lampu merah menyala—saat di mana harapan untuk mendapatkan sesuap nasi muncul.
Dengan kotak kardus kecil, ia bernyanyi lirih. Terkadang ia berjalan berdampingan dengan manusia “silver” yang mematung tiga puluh detik demi selembar uang receh. Rutinitas itu ia ulangi puluhan—bahkan ratusan—kali setiap hari. Semua untuk makan. Semua untuk mempertahankan hidup.
Padahal ini terjadi di pusat kota, di bawah pandangan para pejabat, dinas sosial, dan pihak-pihak yang seharusnya peduli. Tetapi banyak yang justru memilih cuci tangan. Tak ada gebrakan yang benar-benar tepat sasaran. Bantuan untuk rakyat entah kemana, hilang entah di tikungan mana. Dari presiden ganti presiden, pejabat ganti pejabat, realitas ketidakadilan ini tak kunjung berubah.
Lalu sesungguhnya ini tanggung jawab siapa?
